
Oleh
Fr. Andre Temorubun, MSC
(Mahasiswa Tingkat II)
“Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.
Kei Besar, salah satu pulau
yang indah di Provinsi Maluku, kini
menghadapi tantangan serius akibat
kerusakan lingkungan. Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa desa di wil-
ayah ini dilanda banjir yang cukup
parah. Banjir ini bukan semata-mata
karena curah hujan tinggi, namun juga
akibat dari degradasi lingkungan
seperti pembalakan liar, alih fungsi
lahan secara sembarangan, dan minimnya pelestarian hutan. Padahal,
hutan di Kei Besar selama ini berperan penting sebagai penjaga keseimbangan ekosistem dan penahan air
hujan.
Warga dari wilayah Mataholat hingga Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan, menyatakan penolakan tegas terhadap rencana eksploitasi lahan di daerah mereka. Mereka menilai bahwa kegiatan tersebut akan membawa dampak serius, baik terhadap lingkungan maupun kehidupan sosial ekonomi masyarakat, terutama yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Rencana untuk membawa material hasil eksploitasi ke Papua guna proyek reklamasi semakin menambah kekhawatiran, mengingat Pulau Kei Besar tergolong kecil dan rentan terhadap kerusakan lingkungan. Warga mempertanyakan masa depan generasi penerus jika lahan terus dieksploitasi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan. Ironisnya, Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara justru menyatakan bahwa proyek ini bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah, dengan alasan bahwa proyek tersebut merupakan inisiatif dari pemerintah provinsi. Warga mendesak agar pemerintah lebih mengutamakan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat daripada kepentingan ekonomi jangka pendek. (Laporan Wartawan TribunAmbon.com)
Kerusakan alam yang terjadi tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga langsung menyentuh kehidupan masyarakat. Rumah terendam, lahan pertanian rusak, dan akses jalan terganggu. Kondisi ini memperparah kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup pada sumber daya alam. Alam yang dulu menopang kehidupan, kini justru menjadi ancaman karena kelalaian manusia dalam menjaganya.
Seruan untuk peduli terhadap lingkungan sebenarnya telah lama digaungkan, salah satunya
melalui ensiklik Laudato Si’ yang ditulis oleh Paus Fransiskus. Dalam dokumen ini, dia menekankan pentingnya “ekologi integral”, yaitu kesadaran bahwa krisis lingkungan tidak bisa
dipisahkan dari krisis sosial. Kerusakan bumi adalah cermin dari ketidakadilan terhadap sesama dan kegagalan kita untuk merawat anugerah Tuhan. Laudato Si’ mengajak kita untuk melihat bahwa merawat alam berarti juga merawat manusia, terutama mereka yang paling rentan.
Kondisi di Kei Besar seharusnya menjadi panggilan hati bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah daerah serta pemerintah pusat, tokoh agama, dan pemuda, untuk bersamasama membangun kembali hubungan yang harmonis dengan alam. Tidak cukup hanya dengan bantuan sesaat saat banjir datang, tapi dibutuhkan kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan, edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan, dan penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal yang merusak alam. Saya juga berharap sebagai putera asal Kei Besar,pemerintah segera menginisiasi program pemulihan lingkungan seperti reboisasi, perlindungan sumber mata air, dan penyuluhan berkelanjutan bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga alam Seperti yang diingatkan dalam dokumen Laudato Si’, alam adalah rumah bersama yang harus dijaga untuk kesejahteraan semua. Sudah saatnya pemerintah menunjukkan kepemimpinan moral dan politik dalam melindungi bumi dan kehidupan masyarakat Kei Besar dari kerusakan yang lebih parah.
Mari kita bangkitkan kembali kesadaran kolektif untuk mencintai tanah Kei Besar. Kita perlu menanam kembali pohon, menghentikan perusakan hutan, serta merancang pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Masyarakat Kei Besar berhak atas masa depan yang aman, layak, dan sejahtera. Hal itu hanya mungkin terjadi jika kita menjadikan alam sebagai bagian penting dari kehidupan bersama yang harus dihargai dan dijaga.
Sebagaimana disampaikan dalam Laudato Si’, “Bumi adalah rumah bersama kita semua.”Maka marilah kita jadikan rumah ini nyaman dan aman bagi generasi kini dan mendatang. Kei Besar butuh perhatian, bukan hanya karena keindahannya, tapi karena di sanalah hidup dan harapan masyarakat bertumpu. Saatnya bertindak dan mulailah dari langkah kecil yang nyata.
#Tabe Hormat