
Kota Tual. Evav-Terkini.com
Temu Pisa Mahasiswa KKN UGM dengan Pemerintah Kota Tual dan Masyarakat yang direncanakan di Bumi Maren pada hari Sabtu 09 Agustus 2025 di Desa/Ohoi Dullah kecamatan Dullah Utara Kota Tual.
Dengan Tema: “Menembus Batas Timur: Kami Datang untuk Mengajar, Tapi Pulang dengan Pelajaran Hidup”.
Sesuai data yang dihimpun Media ini pada hari Jumat 8/8/2025 “Tual, Maluku_ Pendidikan di Indonesia Timur selama ini seakan menjadi ironi di tengah gegap gempita kemajuan negeri. Ketimpangan akses, minimnya fasilitas, dan kurangnya perhatian serius dari pemangku kebijakan membuat dunia pendidikan di wilayah ini tertinggal jauh dari gemerlap kota-kota besar di barat. Di balik gencarnya narasi “merdeka belajar,” masih banyak anak-anak Indonesia yang harus belajar di ruang kelas yang rusak, tanpa guru tetap, dan bahkan tanpa listrik.
“Namun di tengah kenyataan yang memprihatinkan itu, secercah cahaya datang dari dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam tim KKN Tualang Tual. Bertugas di Desa Labetawi, Kota Tual, Maluku, Ratukhandayu dan Aufa Lazuardi membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana: kehadiran, niat tulus, dan semangat untuk berbagi.
Sebagai bentuk kontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas pendidikan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), keduanya menginisiasi program kelas dasar Bahasa Inggris bagi masyarakat setempat.
“Uniknya, program ini tidak hanya ditujukan bagi anak-anak, tetapi juga membuka ruang belajar bagi orang dewasa.
“Biasa di hari Sabtu untuk anak-anak dan hari Senin untuk umum, tapi kadang banyak anak-anak yang datang ke posko setiap hari untuk belajar,” ujar Aufa sambil tersenyum melihat antusiasme anak-anak yang memadati posko KKN mereka.
Mereka datang tanpa diminta, dengan kaki-kaki kecil yang tak mengenal lelah, membawa buku tulis usang dan pensil yang sudah tinggal separuh. Di mata mereka, posko itu bukan sekadar tempat belajar, melainkan jendela harapan.
“Mengajar di sini sangat berkesan bagi saya, walaupun ternyata pendidikan di sini sangatlah terbatas dan kadang tidak memadai,” ungkap Ratu dengan mata berkaca. Ia bercerita bagaimana banyak anak di Labetawi bahkan belum mengenal huruf atau angka ketika pertama kali datang ke kelas.
Keterbatasan tidak menjadi penghalang. Meski harus berbagi spidol yang sama dan duduk di lantai proses belajar tetap berjalan. Tidak ada gaji. Tidak ada sorotan. Hanya ada niat yang besar untuk menciptakan perbedaan.
Program ini menjadi bagian dari misi besar Tim Tualang Tual yang mengusung semangat kolaborasi dan pemberdayaan masyarakat di wilayah timur Indonesia. Di tengah berbagai keterbatasan, Ratu dan Aufa tetap mengajak warga untuk percaya bahwa belajar adalah hak semua orang — bukan hanya milik mereka yang tinggal di kota besar.
“Kami hanya datang sebentar. Tapi harapan kami, semangat belajar mereka akan terus menyala bahkan setelah kami pulang,” tutup Aufa.
Di tengah segala kontroversi dan keluhan soal sistem pendidikan nasional, kisah dua mahasiswa ini menjadi pengingat bahwa perubahan tak selalu harus menunggu kebijakan. Kadang, ia lahir dari tangan-tangan kecil yang bekerja dalam diam — di ujung peta yang sering dilupakan.
“”(RF)