Ambon.17/10/2025. EvavTerkini.com
Akhir-akhir ini kita sering disuguhkan pemberitaan terkait terjadi perlakuan tidak baik terhadap wartwan bahkan tidak jarang selalu mendapatkan ancaman-ancaman fisik, kondisi ini sangat menyedihkan sebab kehadiran wartawan merupakan hal yang mutlak dalam negara demokrasi. Kita semua sudah sangat memahami bahwa Kemerdekaan pers merupakan pilar penting demokrasi.
Oleh karena itu, suatu hal yang mutlak diperlukan sinergi antara pemerintah, media, dan masyarakat untuk menciptakan ruang informasi yang bebas, akuntabel, dan kondusif.
Dalam negara hukum (rechtstaat), transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban moral dan legal. Siapa pun yang menjalankan amanah publik semestinya tidak risih dengan pertanyaan wartawan, sebab keterbukaan adalah cermin integritas pelayanan publik. Namun tidak jarang terkesan pejabat publik dan para pengusaha merasa risih dengan kehadiran wartawan.
Padahal para jurnalis hanya sekedar mendapatkan informasi tapi tidak jarang para pejabat publik atau pengusaha selalu menghindar… kalau bersih mengapa harus risih dengan wartawan ?..
Selali lagi kalau bersih mengapa harus risih.. Kalau risih bearti tidak bersih.
Wartawan merupakan corong sekaligus pengeras suara publik.Dan Publik mengharapkan adanya akuntabilitas dan transparansi publik.
Dalam kacamata hukum dan kebijakan publik, kerisihan pejabat publik atau badan publik terhadap wartawan dapat di analisis sebagai indikasi adanya ketidaksesuaian antara idealisme hukum dan praktik di lapangan. Kehadiran wartawan merupakan amanat konstitusi UUD 44 pada Pasal 28F menegaskan menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk hak wartawan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan berita. Selanjutnya dipwetegas dalam beberapa UU organik antara lain UU No 40 Th 1999 tentang Pers. UU ini menempatkan pers sebagai lembaga sosial kontrol yang memiliki peran yang sangat penting. Demikian juga dalam UU No. 14 Th 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dengan demikian sikap risih atau menghindar dari jurnalis justru dapat menimbulkan persepsi publik bahwa terdapat hal yang ingin ditutupi, padahal pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung transparansi.
Ketika seorang pejabat publik atau pengusaha “risih” atau bahkan menghalangi tugas wartawan, tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 18 UU Pers, yang mengatur tentang pidana bagi siapa saja yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pers.
Yang diatur pada pasal 4 (2) (3) dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau denda Rp.500 juta Rupiah.
Dalam konteks kebijakan publik, kerisihan ini menunjukkan kegagalan institusi dalam mematuhi prinsip keterbukaan dan akuntabilitas yang diatur juga dalam UU No. 14 Th 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Penulis: Buyung Balubun
Redaksi.**
